Sahabat Ku

"Aku letih hidup. Aku letih menghadapi dunia. Aku letih menerima diriku sendiri. Aku sungguh letih....." ungkap seorang temanku di suatu senja yang bergerimis. Warna langit lembayung memantulkan cahaya surya yang samar-samar menembus awan tipis di langit barat. Dan air laut gelap kebiruan membawa segala pembicaraan kami tenggelam dalam kemuraman. Semilir angin dan bau asin laut memenuhi paru-paru kami. Sementara dari jalan raya yang membentang di belakang kami terdengar suara riuh, dipenuhi kesibukan lalu lalang manusia dan deru kendaraan yang berseliweran tanpa henti. Dia. Aku. Mereka. Kami. Alam. Berapa jauhkah jarak yang memisahkan kita? Siapakah kita semua? Untuk apakah kita hidup? Harus bagaimanakah kita hidup? Mengapakah, seperti yang dikeluhkan oleh sahabatku ini, hidup seringkali terasa melelahkan dan bahkan amat membosankan? Mengapa?

Aku memandang wajahnya. Aku memandang pula pantulan diri kita di matanya. Aku tahu, bahwa sebagai seorang pengusaha yang cukup sukses, dia tidak kekurangan materi. Rumah mewah. Istri cantik. Anak-anaknya yang telah mulai dewasa kini kuliah di luar negeri. Apa lagi yang kurang? Ya, apalagi yang dibutuhkannya? Namun, mengapa hidupnya seringkali terasa kosong dan sepi? Sesuatu yang tak dipahaminya mengenai hidup? Sesuatu yang terasa asing jauh mengendap dalam jiwaku. Berapa banyakkah dari antara kita yang saat ini sedang mengalami kesesakan dan kehampaan dalam limpahan hasrat dan ambisi yang telah teraih? Berapa banyakkah dari antara kita yang kini tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan setelah segala sesuatu telah dimiliki? Berapa banyakkah dari antara kita yang kini merasa hampa dan letih menerima dan menghadapi waktu-waktu hidupnya? Ada sesuatu yang terasa hilang kini. Hilang dan tak teraih. Dan sementara kita terus mencari, kita sendiri tak tahu apa yang sedang kita cari. Aneh tapi nyata. Aneh, karena sebenarnya tak ada lagi yang terasa kurang. Nyatanya, hidup terasa belum lagi cukup. Dan bahkan tidak pernah cukup hanya dengan segala materi dan kekayaan yang kita miliki. Maka untuk apa kita hidup sebenarnya? Untuk apa dan mengapa?

Alun ombak menghempas pantai. Di kejauhan, jejeran pulau-pulau sayup-sayup mulai lenyap ditelan kegelapan. Malam telah tiba. Namun, dari balik kepekatan timbul bintik-bintik cahaya pelita. Samar-samar, jauh di atas, langit yang ditutupi mendung tipis, bulan sabit terbayang. Dan dari antara keluasan dunia ini, kami duduk sebagai suatu noktah kecil, amat kecil, terpencil dan terasing dari segala hiruk-pikuk dan kesibukan sang waktu yang mengatur hidup. Saat ini, waktu menjadi nisbi dalam jiwa kami. Kami ada sekarang. Kami hidup dan mengalami kini. Kami merasa dan berpikir tanpa kaitan dengan segalanya. Kami adalah saat ini.

Kesepian kami. Kepahitan kami. Kegundahan kami. Diri kami adalah suatu kenyataan yang tak terhapuskan. Karena kami hidup dan masih hidup. Dan seletih apapun diri kita, sepahit apapun pengalaman kita. Senyeri apapun kesepian kita. Kita telah ada dan sedang mengalami dan itulah yang harus kita hadapi sekarang.

"Aku letih hidup. Aku letih menghadapi dunia ini. Aku letih menghadapi diriku sendiri. Aku sungguh letih. Tetapi aku toh bukan pengecut dan seorang yang tak pernah bersyukur atas hidup ini. Aku harus hidup demi untuk diriku sendiri. Aku harus hidup demi untuk keluargaku. Bahkan aku harus hidup demi untuk dunia. Sebab bukankah aku telah lahir dan hal itu tak mungkin disesalkan lagi. Sebab penyesalan hanya berarti bahwa aku mempersalahkan keputusan Sang Pencipta atas keberadaanku di dunia ini. Tidak. Aku ada karena aku harus ada sesuai kehendakNya. Maka keletihanku atas hidup hanya bermakna bila aku menghadapinya dengan tabah sambil berbuat apa yang bisa kulakukan untuk hidup dan tetap bertahan hidup. Bukannya pasrah menyerah atau lebih buruk lagi, melarikan diri dari kenyataan ini untuk memusnahkan diriku sendiri. Aku letih hidup tetapi aku tetap akan tegar untuk menghadapinya. Kekosonganku. Kehampaanku. Ketak-berdayaanku hanyalah bisa bermakna jika kuhadapi sendiri. Untuk mengubah hidupku. Dan aku harus berubah, temanku, harus....."

Senja berubah menjadi malam. Malam pun akan menuju fajar. Menuju pagi, siang lalu kembali ke senja. Dan tiba-tiba, seperti juga temanku ini, hidup memang tidak cukup hanya dengan hasrat menikmati. Tetapi jauh lebih penting dari itu adalah keinginan untuk berubah dan mengubah hidup ini. Sebab sama seperti waktu yang terus menerus berubah dari detik ke detik, kita semua harus berubah agar dapat menikmati hidup ini dengan lebih baik. Dan semuanya tergantung pada diri kita sendiri. Tergantung pada kita semua. Semoga hasil karya Tuhan untuk menciptakan kita semua tidaklah sia-sia. Tidak menjadi sia-sia.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar: